Jasaview.id

Ancaman Terhadap Ruang Hidup Masyarakat Sunda Wiwitan yang Tidak Diakui

Keputusan Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang menolak mengakui Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat, berpotensi mengancam eksistensi dan ruang hidup komunitas tersebut. Keputusan ini, selain dianggap diskriminatif, juga dapat mengakibatkan kehilangan tanah adat sebagai sumber pangan dan penjaga kelestarian lingkungan bagi masyarakat tersebut.


Djuwita Djatikusumah Putri, Girang Pangaping Adat Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, menyatakan keprihatinannya terhadap risiko terancamnya ruang hidup komunitas Akur Sunda Wiwitan. Salah satu masalah utama adalah sengketa tanah adat, yang memiliki peran penting sebagai sumber pangan dan menjaga kelestarian lingkungan, termasuk mata air. Meskipun komunitas tersebut telah berusaha mempertahankan tanah adat, mereka menghadapi kendala karena tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang diakui.


Pada tanggal 11 April 2020, Akur Sunda Wiwitan mengajukan permohonan penetapan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) kepada pemerintah daerah. Meskipun Pemkab membentuk Panitia MHA Kuningan, pada 29 Desember 2020, Bupati Kuningan menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa Akur Sunda Wiwitan tidak memenuhi lima kriteria MHA sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014.


Djuwita menyatakan bahwa komunitas Akur Sunda Wiwitan telah memenuhi kelima kriteria tersebut, dan menyerahkan dokumen manuskrip yang mencakup sejarah adat, hukum adat, dan kelembagaan adat. Namun, Bupati Kuningan menilai sebaliknya, dengan alasan wilayah adat yang tersebar dan tidak homogen, serta adanya banyak versi sejarah.


Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, yang juga Ketua Panitia MHA Kuningan, menjelaskan bahwa pihaknya telah mengkaji 18 dokumen sebagai bahan identifikasi, verifikasi, dan validasi Sunda Wiwitan. Menurutnya, wilayah adat yang tersebar dan tidak homogen, serta variasi sejarah yang ada, menjadi alasan penolakan.


Pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, mengkritik kelima kriteria MHA dalam Permendagri No 52/2014, menyatakan bahwa kebijakan negara telah merusak kriteria-kriteria tersebut. Diskusi daring yang digelar oleh Universitas Katolik Parahyangan pada tanggal 11 Februari 2021 juga mencermati bahwa kelima kriteria tersebut dianggap tidak relevan untuk mengakui masyarakat adat.

Subscribe to receive free email updates:

close